Sabtu, 03 April 2010

Nasib Kaum Petani Marginal

Nilai tukar petani (NTP) telah ditafsirkan sebagai indikator kesejahteraan petani. Konsep pengukuran NTP diukur sebagai rasio indeks harga yang diterima dan indeks harga yang dibayar petani. Selain mudah dipahami masyarakat, NTP juga menjadi indikator populer yang banyak digunakan untuk menganalisis perbaikan atau kemunduran kesejahteraan petani.

Sederhananya, jika harga-harga yang dibayar petani lebih rendah dibandingkan dengan harga-harga komoditas pertanian yang diterima petani, diasumsikan telah terjadi perbaikan kesejahteraan petani, begitu pula sebaliknya.

Angka NTP Jabar pada Desember 2008 berdasarkan laporan KER Triwulan IV Bank Indonesia 2009 sebesar 96,94 atau sedikit meningkat 0,9%. Meski demikian, nilai NTP Jabar dinilai masih rendah dibandingkan dengan daerah lain. Sangat ironis sekali, padahal Jabar merupakan salah satu wilayah lumbung padi dan salah satu provinsi penyumbang terbesar dalam sektor pertanian, terutama padi sawah.

Naiknya nilai NTP menjadi pertanyaan bagi sebagian kalangan petani, terutama kaum petani marginal yang tidak dapat merasakan dampak kenaikan dari NTP itu sendiri. Oleh karena itu, perlu diperjelas petani mana yang dimaksud?

Dalam penghitungan NTP hanya merujuk pada rumah tangga petani tanaman bahan makanan dan perkebunan rakyat saja sehingga tidak dapat dijadikan ciri kondisi ekonomi rumah tangga tani secara umum. Sebab, kata "pertanian" terlalu luas dari yang tercakup dalam penghitungan NTP.

Selain itu, NTP hanya mencoba mengakomodasi pendapatan rumah tangga tani tanaman bahan makanan dan perkebunan, namun dalam realitasnya, rumah tangga tani tanaman bahan makanan dan perkebunan, umumnya juga memperoleh pandapatan usaha dari sektor lain, sumbangan terbesar terhadap pendapatan rumah tangga tani adalah sumbangan di luar usaha pertanian, seperti laporan KER Triwulan IV Bank Indonesia 2009 penyumbang terbesar terhadap NTP adalah subsektor peternakan dengan persentase perubahannya sebesar 1,93%.

Dengan demikian, NTP tersebut hanya valid bagi rumah tangga tani (spesialis) tanaman yang seluruh pendapatannya dari usaha tani tanaman sehingga tidak mencerminkan realitas empiris rumah tangga tani. NTP tidak saja mengaburkan relasi kesejahteraan (daya beli) petani dengan harga yang diterima petani, tetapi juga memperkecil (underestimate) pengaruh harga yang diterima petani terhadap kesejahteraan petani tetap.

Data untuk menghitung nilai tukar selain ditandai dengan NTP, masih banyak data yang juga harus diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS). NTP yang selama ini diterbitkan, secara konseptual lebih tepat disebut nilai tukar barter petani karena diukur sebagai rasio indeks harga seluruh produk yang dijual petani terhadap indeks harga seluruh barang dan jasa (untuk konsumsi rumah tangga ataupun input usaha tani) yang dibeli petani.

Dengan demikian, NTP itu tidak memiliki hubungan jelas dan tegas dengan kesejahteraan ekonomi rumah tangga tani. Selain itu, kesesuaian representativeness amat rendah.

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang keberpihakan dinamika harga terhadap petani, kiranya BPS juga menyertakan data lain dengan dua ukuran lain, seperti NTKP (nilai tukar konsumsi petani) dan NTFP (nilai tukar faktor produksi usaha tani). Sebab, NTKP merupakan rasio indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga konsumsi petani, yang pada intinya menunjukkan daya beli setiap unit usaha tani atas barang konsumsi rumah tangga petani.

Sementara NTFP merupakan rasio indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga input usaha tani, yang menunjukkan insentif usaha tani, terutama petani marginal.

Sebagai bagian dari upaya peningkatan kesejahteraan petani melalui perbaikan nilai tukar petani, maka pemerintah perlu mengendalikan inflasi di perdesaan. Perhatian pemerintah selama ini lebih terfokus pada inflasi umum di perkotaan. Inflasi di perkotaan tidak sepenuhnya mencerminkan inflasi di perdesaan. Selain itu, inflasi input usaha tani juga perlu dikendalikan. Kebijakan pemerintah mengendalikan harga dan distribusi pupuk merupakan salah satu instrumen untuk itu.

Diusulkan agar BPS mengkaji ulang metode pengukuran nilai tukar petani yang tidak pernah diperbaiki sejak diterbitkan sekitar 50 tahun lalu. BPS sebaiknya tidak menggunakan penanda tunggal. Berbagai alternatif cara pengukuran nilai tukar petani kiranya perlu dipertimbangkan sebagai komplemen terhadap ukuran konvensional yang digunakan BPS selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar